-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Panas Politik Identitas Partai Ummat, Dicap Haram Tapi Menjanjikan

Thursday, February 16, 2023 | 9:25:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2023-10-14T08:46:23Z

Politik Identitas Partai Ummat
 

Deklarasi Partai Ummat yang terang-terangan mengusung politik identitas makin membuat pas konstelasi politik jelang Pemilu 2024. Selama ini, politik identitas sudah jadi kosakata negatif, labelisasi hingga stigmastisasi.

Para elite politik kerap kali keras menolak politik identitas bak penyakit yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi Tanah Air. Bahkan Presiden Joko Widodo seolah tak pernah lelah mengingatkan publik untuk menghindari politik identitas.

Indonesia sebagai negara mayoritas pemilih muslim bakal sangat mudah memainkan isu agama sebagai bagian dari identitas demi mendulang simpati. Partai politik sudah tentu ingin menggaet potensi suara pemilih muslim yang amat besar itu.

Namun, karena sudah kadung ada labelisasi dan stigmatisasi negatif akan politik identitas, banyak partai politik 'takut' terang-terangan memainkannya.

Namun itu tak berlaku bagi Partai Ummat, partai besutan politisi senior Amien Rais itu seolah melawan arus. Mereka terang-terangan menyebut mengusung politik identitas.

Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, mengatakan, partainya mengusung politik identitas. Mulanya, ia menyebut partainya akan melawan narasi politik yang kosong dan menyesatkan dengan cara berada dan elegan.

"Partai Ummat secara khusus akan melawan dengan cara yang beradab dan elegan narasi latah yang kosong dan menyesatkan, yaitu (dengan) politik identitas. Kita akan secara lantang mengatakan, 'Ya, kami Partai Ummat, dan kami adalah politik identitas'," ujar Ridho saat membuka rapat kerja nasional perdana Partai Ummat di Asrama Haji, Jakarta Timur, Senin (13/2/2023).

Ridho mengatakan, tanpa unsur agama, politik akan kehilangan arah. Dia lalu menilai memisahkan agama dengan politik adalah 'proyek sekularisme'.

"Tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional, ini adalah proyek besar sekularisme yang menghendaki agama dipisah dari semua sendi kehidupan, termasuk politik. Dengan demikian perlu dipahami, bahwa sesungguhnya justru politik Identitas adalah politik yang pancasilais," terang Ridho.

Kata dia, politik identitas di Indonesia selama ini dilihat hanya tentang agama. Menurutnya politik identitas di Indonesia saat ini dikuasai oleh proyek besar sekularisme.

"Jadi politik identitas di Indonesia atribusinya semata-mata kepada agama, dan kita tahu agama Islam. Ini suatu yang salah. Pertama berangkat dari suatu yang salah, Tapi oke lah kita masuk ke sana. Justru di sini kita momen ingin menyampaikan pikiran-pikiran untuk balancing untuk meng-counter itu semua," tuturnya.

"Bagaimana kalau kita memisahkan agama, nilai-nilai agama, moralitas agama. Sedangkan nilai-nilai moralitas agama memberikan referensi yang absolut yang permanen yang tidak pernah berubah lintas zaman lintas generasi," sambungnya.

Ridho lantas menggambarkan bila kondisi politik dipisahkan dari agama. Salah satu contohnya adalah aturan soal lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

"Kemudian kalau kita pisahkan dari politik, maka politik kita yang tanpa arah, politik yang nanti referensinya kebenaran yang relatif situasional. Jadi di sini benar, nanti di sana salah, nggak apa-apa selama membawa keuntungan buat saya," jelas Ridho.

"Di luar negeri sana benar LGBT. Di bawa ke sini, 'Oh ya di sana juga benar, selama menguntungkan buat saya, saya ambil'. Jadi ini relativisasi moralitas dan etika sangat bahaya. Dan kita sampaikan ini proyek besar sekularisme. Jadi narasi politik identitas di Indonesia ini ditunggangi proyek besar sekularisme," lanjutnya.

Ridho juga menyampaikan narasi jangan berpolitik di masjid juga salah. Dia lantas mengungkit masjid yang dibangun pada zaman Rasululah diperuntukan bertukar ide dan gagasan, termasuk soal politik.

"Maka kita sebagai kaum terargumen, kita sampaikan Partai Ummat dalam hal itu adalah politik identitas. Selanjutnya kita lihat narasi bahwa 'jangan melakukan politik di masjid' itu sebenarnya narasi lanjutan yang sama juga menyesatkan. Padahal masjid itu dibuat pada zaman rasululah, ketika itu hijrah yang pertama didirikan masjid, pusat pendidikan, pusat untuk gagasan gagasan, pertukaran ide-ide cemerlang, itu ada di masjid," tutur Ridho.

Di sisi lain, Ketua Majelis Syura Partai Ummat Amien Rais menegaskan memang partainya mengusung basis politik identitas. Menurutnya, politik identitas diperlukan dalam berpolitik terlebih sebagai partai politik, sebab hal itu akan membedakan partai dengan robot.

"Nah kemudian ada baiknya saya garis bawahi, yes we are indentity political party. Kita mengusung identitas, karena kalau sebuah parpol tidak punya identitas itu nggak ada bedanya dengan robot bahkan sepert zombi, zombi itu mayat berjalan," kata Amien usai Rakernas Partai Ummat di Asrama Haji, Jakarta Timur, Rabu (15/2/2023).

Menurut dia, partai tanpa identitas maka moralnya menjadi tidak ada, hal itu justru akan menjadi bahaya. Amien kemudian memberikan contoh apa yang terjadi di Jerman bagaimana Partai Kristen Demokrat bisa menjadi pemenang kedua.

"Sehingga kita ini terus terang, ketika melihat dunia menjadi terbuka wawasan kita. tapi kalau cuma ngorek di dalam, terus hebat-hebatan sendiri ya ternyata kita ketinggalan zaman," kata Amien.

Amien kemudian menyebut, sejumlah elite di Indonesia justru terlalu berpandangan negatif terhadap politik identitas. Hal itu justru menjadi aib buat negara, di saat berbagai negara sudah menggunakan identitas dalam berpolitik.

"Di Swedia, Spain, Italia, di Belanda itu semua ada partai agama. Di sini memang aneh bin ajaib karena saya melihat, sementara politisi di negeri ini dan intelektualnya seperti parrot, burung beo, di sana mengatakan politik identitas berbahaya. This is verry aib. Sangat aib," ujar dia.

Memahami Politik Identitas

Disitat dari artikel di laman UIN Jakarta berjudul "Kesalahpahaman Tentang Politik Identitas", Guru Besar UIN Jakarta yang juga Kapuslitbang Lektur Khazanah Keagamaan Kemenag RI, Arskal Salim memaparkan, kontroversi terkait politik identitas sebenarnya berawal dari perbedaan dalam memahami konsep dan menempatkan konteks.

Konteks ini mencakup konteks ruang, waktu, dan kondisi yang melatari. Sebagai suatu konsep, politik identitas tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, sebab kontekslah yang bisa menjadi acuan pemaknaan dan pemahaman atas suatu konsep. Dengan demikian, mengabaikan konteks dari konsep politik identitas sama saja dengan melahirkan pemahaman baru yang keliru dan sesat terhadap konsep tersebut.

Dalam bidang ilmu sosial dan humaniora, politik identitas dimaknai sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik. Ia menstimulasi bahkan menggerakkan aksi-aksi untuk meraih tujuan politik tertentu. Politik identitas mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama sebagai mereknya.

Politik identitas biasanya dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem. Dalam menyuarakan aspirasi kelompok pengusung politik identitas, distingsi seperti kesukuan, gender dan agama ditunjukkan secara eksplisit dan intensif.

Beberapa contoh politik identitas melalui gerakan sosial politik dapat ditemukan di dalam maupun luar negeri antara lain: gerakan Afro-Amerika yang mengklaim persamaan ras, gerakan LGBT yang menuntut legalitas same sex marriage di beberapa negara Barat, gerakan kelompok adat yang memperjuangkan hak pengelolaan tanah ulayat, gerakan gender yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam ketenagakerjaan, dan lain lain.

Dari ilustrasi di atas, dapat ditarik kesamaan bahwa: pertama, politik identitas memuat makna dan tujuannya masing-masing, sesuai konteks geografis, kultural, temporal, maupun sosialnya. Kedua, gerakan politik identitas diusung oleh kelompok yang termarjinalisasi atau tidak mendapatkan hak yang setara dengan kelompok mainstream.

Politik identitas seringkali disalahpahami sebagai bagian dari politik praktis atau bahkan merupakan politik kebangsaan. Memang, kesamaan identitas menjadi pemersatu bagi anggota suatu kelompok (in group unity). Namun, dalam konteks kebangsaan Indonesia yang majemuk, menonjolkan identitas kelompok secara dominan justru dapat menjadi potensi ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa (nation unity).

Di sinilah pembeda antara politik identitas dengan politik kebangsaan, sebab yang satu ingin meraih tujuan eksklusif kelompoknya sendiri, sedangkan yang lain bertujuan untuk meraih tujuan inklusif bagi kehidupan bersama.

Sanksi Bawaslu Menunggu

Pernyataan terang-terangan Partai Ummat yang mengusung politik identitas banyak menuai kritikan, khususnya dari kalangan elite politik. Salah satunya dari Wakil Ketua Umum Partai Garuda, Teddy Gusnaidi.

"Ada partai politik yang mengatakan bahwa pelarangan aktivitas politik di tempat ibadah sebagai narasi yang menyesatkan. Pernyataan ini tentu malah menyesatkan, karena sebagai partai politik, dalam berpolitik dan berkampanye tentu wajib tunduk dan patuh terhadap UU Pemilu," ujar Teddy melalui keterangan tertulis, Rabu (15/2/2023).

Sebab, kata dia, dalam Undang-Undang Pemilihan Umun (UU Pemilu), ada larangan dalam berkampanye yaitu salah satunya menggunakan tempat ibadah jadi lokasi kampanye.

"Dalam UU Pemilu ada larangan dalam berkampanye, salah satunya adalah menggunakan tempat ibadah. Sanksinya penjara dan denda. Jadi saya menantang partai politik yang menyebarkan narasi itu, untuk secara resmi melakukan kampanye di tempat ibadah. Berani melanggar UU Pemilu," tutur Teddy.

Oleh karena itu, dirinya menantang partai tersebut melakukan kampanye di tempat ibadah.

"Jangan hanya berani membuat dan menyebarkan narasi, lalu yang jadi korban adalah orang-orang yang termakan atas narasi tersebut. Lakukan sendiri dan hadapi sendiri. Lakukan terang-terangan, jangan sembunyi-sembunyi dan akal-akalan untuk hindari sanksi. Itu pengecut namanya. Ditunggu keberanian Partai Politik tersebut untuk mengimplementasikan pelanggaran UU Pemilu," jelas Teddy.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu RI) mengatakan, agar semua partai politik tidak menggunakan tempat ibadah sebagai sarana melakukan kampanye dan juga ajang menyerang satu sama lain.

"Kami akan mengingatkan Partai Ummat untuk tidak melakukan hal demikian. Masjid adalah tempat bersama umat Islam, yang pilihan politik bukan hanya partai Ummat," kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, dikutip Selasa (14/2/2023).

Menurut Rahmat, sarana publik itu milik bersama. Penggunaan tempat ibadah untuk kegiatan politik dapat berpotensi menimbulkan pertentangan sosial.

"Kalau seperti itu akan terjadi pertentangan sosial dan harus hati-hati teman-teman Partai Ummat itu akan menaikkan eskalasi pertarungan di tingkat akar rumput. Itu yang paling berbahaya," katanya.

Lebih lanjut, ditanya awak media soal apakah pihaknya akan menindak Partai Ummat soal akan mengusung politik identitas.

"(Bakal ditindak) Oh ya, pasti," ucapnya.

Copas dari https://www.suara.com/news/2023/02/16/081728/panas-politik-identitas-partai-ummat-dicap-haram-tapi-menjanjikan

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update