Deklarasi Partai Ummat yang terang-terangan mengusung politik identitas makin membuat pas konstelasi politik jelang Pemilu 2024. Selama
ini, politik identitas sudah jadi kosakata negatif, labelisasi hingga
stigmastisasi.
Para elite politik kerap kali keras menolak politik identitas bak
penyakit yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi Tanah Air. Bahkan
Presiden Joko Widodo seolah tak pernah lelah mengingatkan publik untuk
menghindari politik identitas.
Indonesia sebagai negara mayoritas pemilih muslim bakal sangat mudah
memainkan isu agama sebagai bagian dari identitas demi mendulang simpati.
Partai politik sudah tentu ingin menggaet potensi suara pemilih muslim
yang amat besar itu.
Namun, karena sudah kadung ada labelisasi dan stigmatisasi negatif akan
politik identitas, banyak partai politik 'takut' terang-terangan
memainkannya.
Namun itu tak berlaku bagi Partai Ummat, partai besutan politisi senior
Amien Rais itu seolah melawan arus. Mereka terang-terangan menyebut
mengusung politik identitas.
Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, mengatakan, partainya mengusung
politik identitas. Mulanya, ia menyebut partainya akan melawan narasi
politik yang kosong dan menyesatkan dengan cara berada dan elegan.
"Partai Ummat secara khusus akan melawan dengan cara yang beradab dan
elegan narasi latah yang kosong dan menyesatkan, yaitu (dengan) politik
identitas. Kita akan secara lantang mengatakan, 'Ya, kami Partai Ummat,
dan kami adalah politik identitas'," ujar Ridho saat membuka rapat kerja
nasional perdana Partai Ummat di Asrama Haji, Jakarta Timur, Senin
(13/2/2023).
Ridho mengatakan, tanpa unsur agama, politik akan kehilangan arah. Dia
lalu menilai memisahkan agama dengan politik adalah 'proyek
sekularisme'.
"Tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam
moralitas yang relatif dan etika yang situasional, ini adalah proyek besar
sekularisme yang menghendaki agama dipisah dari semua sendi kehidupan,
termasuk politik. Dengan demikian perlu dipahami, bahwa sesungguhnya
justru politik Identitas adalah politik yang pancasilais," terang
Ridho.
Kata dia, politik identitas di Indonesia selama ini dilihat hanya tentang
agama. Menurutnya politik identitas di Indonesia saat ini dikuasai oleh
proyek besar sekularisme.
"Jadi politik identitas di Indonesia atribusinya semata-mata kepada
agama, dan kita tahu agama Islam. Ini suatu yang salah. Pertama berangkat
dari suatu yang salah, Tapi oke lah kita masuk ke sana. Justru di sini
kita momen ingin menyampaikan pikiran-pikiran untuk balancing untuk
meng-counter itu semua," tuturnya.
"Bagaimana kalau kita memisahkan agama, nilai-nilai agama, moralitas
agama. Sedangkan nilai-nilai moralitas agama memberikan referensi yang
absolut yang permanen yang tidak pernah berubah lintas zaman lintas
generasi," sambungnya.
Ridho lantas menggambarkan bila kondisi politik dipisahkan dari agama.
Salah satu contohnya adalah aturan soal lesbian, gay, biseksual dan
transgender (LGBT).
"Kemudian kalau kita pisahkan dari politik, maka politik kita yang tanpa
arah, politik yang nanti referensinya kebenaran yang relatif situasional.
Jadi di sini benar, nanti di sana salah, nggak apa-apa selama membawa
keuntungan buat saya," jelas Ridho.
"Di luar negeri sana benar LGBT. Di bawa ke sini, 'Oh ya di sana juga
benar, selama menguntungkan buat saya, saya ambil'. Jadi ini relativisasi
moralitas dan etika sangat bahaya. Dan kita sampaikan ini proyek besar
sekularisme. Jadi narasi politik identitas di Indonesia ini ditunggangi
proyek besar sekularisme," lanjutnya.
Ridho juga menyampaikan narasi jangan berpolitik di masjid juga salah.
Dia lantas mengungkit masjid yang dibangun pada zaman Rasululah
diperuntukan bertukar ide dan gagasan, termasuk soal politik.
"Maka kita sebagai kaum terargumen, kita sampaikan Partai Ummat dalam hal
itu adalah politik identitas. Selanjutnya kita lihat narasi bahwa 'jangan
melakukan politik di masjid' itu sebenarnya narasi lanjutan yang sama juga
menyesatkan. Padahal masjid itu dibuat pada zaman rasululah, ketika itu
hijrah yang pertama didirikan masjid, pusat pendidikan, pusat untuk
gagasan gagasan, pertukaran ide-ide cemerlang, itu ada di masjid," tutur
Ridho.
Di sisi lain, Ketua Majelis Syura Partai Ummat Amien Rais menegaskan
memang partainya mengusung basis politik identitas. Menurutnya, politik
identitas diperlukan dalam berpolitik terlebih sebagai partai politik,
sebab hal itu akan membedakan partai dengan robot.
"Nah kemudian ada baiknya saya garis bawahi, yes we are indentity
political party. Kita mengusung identitas, karena kalau sebuah parpol
tidak punya identitas itu nggak ada bedanya dengan robot bahkan sepert
zombi, zombi itu mayat berjalan," kata Amien usai Rakernas Partai Ummat di
Asrama Haji, Jakarta Timur, Rabu (15/2/2023).
Menurut dia, partai tanpa identitas maka moralnya menjadi tidak ada, hal
itu justru akan menjadi bahaya. Amien kemudian memberikan contoh apa yang
terjadi di Jerman bagaimana Partai Kristen Demokrat bisa menjadi pemenang
kedua.
"Sehingga kita ini terus terang, ketika melihat dunia menjadi terbuka
wawasan kita. tapi kalau cuma ngorek di dalam, terus hebat-hebatan sendiri
ya ternyata kita ketinggalan zaman," kata Amien.
Amien kemudian menyebut, sejumlah elite di Indonesia justru terlalu
berpandangan negatif terhadap politik identitas. Hal itu justru menjadi
aib buat negara, di saat berbagai negara sudah menggunakan identitas dalam
berpolitik.
"Di Swedia, Spain, Italia, di Belanda itu semua ada partai agama. Di sini
memang aneh bin ajaib karena saya melihat, sementara politisi di negeri
ini dan intelektualnya seperti parrot, burung beo, di sana mengatakan
politik identitas berbahaya. This is verry aib. Sangat aib," ujar
dia.
Memahami Politik Identitas
Disitat dari artikel di laman UIN Jakarta berjudul "Kesalahpahaman Tentang Politik Identitas", Guru Besar UIN Jakarta yang juga Kapuslitbang Lektur Khazanah Keagamaan
Kemenag RI, Arskal Salim memaparkan, kontroversi terkait politik identitas
sebenarnya berawal dari perbedaan dalam memahami konsep dan menempatkan
konteks.
Konteks ini mencakup konteks ruang, waktu, dan kondisi yang melatari.
Sebagai suatu konsep, politik identitas tidak bisa dilepaskan dari
konteksnya, sebab kontekslah yang bisa menjadi acuan pemaknaan dan
pemahaman atas suatu konsep. Dengan demikian, mengabaikan konteks dari
konsep politik identitas sama saja dengan melahirkan pemahaman baru yang
keliru dan sesat terhadap konsep tersebut.
Dalam bidang ilmu sosial dan humaniora, politik identitas dimaknai
sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik dan
ideologi politik. Ia menstimulasi bahkan menggerakkan aksi-aksi untuk
meraih tujuan politik tertentu. Politik identitas mengkapitalisasi ras,
suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama sebagai mereknya.
Politik identitas biasanya dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun
marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem. Dalam
menyuarakan aspirasi kelompok pengusung politik identitas, distingsi
seperti kesukuan, gender dan agama ditunjukkan secara eksplisit dan
intensif.
Beberapa contoh politik identitas melalui gerakan sosial politik dapat
ditemukan di dalam maupun luar negeri antara lain: gerakan Afro-Amerika
yang mengklaim persamaan ras, gerakan LGBT yang menuntut legalitas same
sex marriage di beberapa negara Barat, gerakan kelompok adat yang
memperjuangkan hak pengelolaan tanah ulayat, gerakan gender yang
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam ketenagakerjaan, dan lain
lain.
Dari ilustrasi di atas, dapat ditarik kesamaan bahwa: pertama, politik
identitas memuat makna dan tujuannya masing-masing, sesuai konteks
geografis, kultural, temporal, maupun sosialnya. Kedua, gerakan politik
identitas diusung oleh kelompok yang termarjinalisasi atau tidak
mendapatkan hak yang setara dengan kelompok mainstream.
Politik identitas seringkali disalahpahami sebagai bagian dari politik
praktis atau bahkan merupakan politik kebangsaan. Memang, kesamaan
identitas menjadi pemersatu bagi anggota suatu kelompok (in group unity).
Namun, dalam konteks kebangsaan Indonesia yang majemuk, menonjolkan
identitas kelompok secara dominan justru dapat menjadi potensi ancaman
bagi persatuan dan kesatuan bangsa (nation unity).
Di sinilah pembeda antara politik identitas dengan politik kebangsaan,
sebab yang satu ingin meraih tujuan eksklusif kelompoknya sendiri,
sedangkan yang lain bertujuan untuk meraih tujuan inklusif bagi kehidupan
bersama.
Sanksi Bawaslu Menunggu
Pernyataan terang-terangan Partai Ummat yang mengusung politik identitas
banyak menuai kritikan, khususnya dari kalangan elite politik. Salah
satunya dari Wakil Ketua Umum Partai Garuda, Teddy Gusnaidi.
"Ada partai politik yang mengatakan bahwa pelarangan aktivitas politik di
tempat ibadah sebagai narasi yang menyesatkan. Pernyataan ini tentu malah
menyesatkan, karena sebagai partai politik, dalam berpolitik dan
berkampanye tentu wajib tunduk dan patuh terhadap UU Pemilu," ujar Teddy
melalui keterangan tertulis, Rabu (15/2/2023).
Sebab, kata dia, dalam Undang-Undang Pemilihan Umun (UU Pemilu), ada
larangan dalam berkampanye yaitu salah satunya menggunakan tempat ibadah
jadi lokasi kampanye.
"Dalam UU Pemilu ada larangan dalam berkampanye, salah satunya adalah
menggunakan tempat ibadah. Sanksinya penjara dan denda. Jadi saya
menantang partai politik yang menyebarkan narasi itu, untuk secara resmi
melakukan kampanye di tempat ibadah. Berani melanggar UU Pemilu," tutur
Teddy.
Oleh karena itu, dirinya menantang partai tersebut melakukan kampanye di
tempat ibadah.
"Jangan hanya berani membuat dan menyebarkan narasi, lalu yang jadi
korban adalah orang-orang yang termakan atas narasi tersebut. Lakukan
sendiri dan hadapi sendiri. Lakukan terang-terangan, jangan
sembunyi-sembunyi dan akal-akalan untuk hindari sanksi. Itu pengecut
namanya. Ditunggu keberanian Partai Politik tersebut untuk
mengimplementasikan pelanggaran UU Pemilu," jelas Teddy.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu RI) mengatakan,
agar semua partai politik tidak menggunakan tempat ibadah sebagai sarana
melakukan kampanye dan juga ajang menyerang satu sama lain.
"Kami akan mengingatkan Partai Ummat untuk tidak melakukan hal demikian.
Masjid adalah tempat bersama umat Islam, yang pilihan politik bukan hanya
partai Ummat," kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, dikutip Selasa
(14/2/2023).
Menurut Rahmat, sarana publik itu milik bersama. Penggunaan tempat ibadah
untuk kegiatan politik dapat berpotensi menimbulkan pertentangan
sosial.
"Kalau seperti itu akan terjadi pertentangan sosial dan harus hati-hati
teman-teman Partai Ummat itu akan menaikkan eskalasi pertarungan di
tingkat akar rumput. Itu yang paling berbahaya," katanya.
Lebih lanjut, ditanya awak media soal apakah pihaknya akan menindak
Partai Ummat soal akan mengusung politik identitas.
"(Bakal ditindak) Oh ya, pasti," ucapnya.
Copas dari
https://www.suara.com/news/2023/02/16/081728/panas-politik-identitas-partai-ummat-dicap-haram-tapi-menjanjikan
No comments:
Post a Comment